Pensil merupakan sebuah alat untuk menulis. Jika kita tengok sejarahnya, pensil mulai digunakan sejak zaman Yunani. Pensil yang isinya berwarna hitam itu terbuat dari bahan grafit. Lalu mulai berkembang seiring penemuan grafit murni.
Pensil berbahan grafit ini mempunyai kelebihan diantaranya tidak dapat dibakar, berwarna hitam menghilap dan mudah dihapus dipermukaan media. Awalnya pensil hanya diikatkan pada kulit domba dan terus berkembang hingga akhirnya muncul ide untuk memasukkan kedalam batang kayu pada tahun 1500an. Lalu akhirnya muncul pensil dengan metode pemantik pada tahun 1800an.
Hingga saat ini, milyaran pensil telah diproduksi. Bahkan katanya, jika pensil diseluruh dunia disatukan maka panjangnya bisa mengelilingi bumi beberapa kali. Namun kali ini saya tidak akan membahas terlalu jauh mengenai sejarahnya, justru yang membuat saya kagum adalah bagaimana filosofi dari pensil itu sendiri.
Bagi saya, pensil merupakan benda yang selalu saya miliki sepanjang waktu. Meskipun sekarang lebih sering menggunakan bulpoin, namun karena kelebihan pensil yaitu mudah dihapus tanpa meninggalkan bekas, menjadikan benda ini sangat dibutuhkan ketika saya ingin membuat sketsa atau tulisan yang belum final.
Pensil menurut saya sangatlah istimewa. Sepanjang hidup pensil, ia tidak lepas dari memberi manfaat bagi manusia. Ia banyak digunakan saat kita belajar menulis. Pensil memberikan warna hitam keabuan, yang jelas tercetak pada buku kita.
Pensil adalah penulis ilmu. Karena dengan dia kita sering mencatat agar dapat kembali dipelajari ketika sampai dirumah.
Ketika pensil masih panjang, rasanya kita sangat semangat dan senang untuk menulis. Karena masih nyaman digunakan. Seiring waktu, maka pensil akan semakin pendek karena kita tajamkan terus menerus dan membuang kayu pelapisnya. Meskipun ia sakit karena kita potong dan sayat-sayat, justru ia akan senang karena dengan cara itulah ia akan bisa memberi manfaat.
Perjuangan pensil tidaklah mudah, setiap hari ia gunakan untuk mencatat pelajaran hingga akhirnya sudah pendek lalu akan dibuang oleh kita. Ia akan sedih karena tak lagi bisa digunakan.
Sama seperti pensil, sebagai manusia kita harusnya juga mampu bermanfaat bagi orang lain. Semenjak kita masih bertenaga hingga kita sudah tidak mampu lagi. Jika pensil mampu sakit agar bermanfaat, maka kita juga harus bersabar menghadapi cobaan ketika kita sedang berusaha untuk bermanfaat bagi orang sekitar.
Jika pensil saja tidak mengharap sesuatu imbalan, pun kita juga harus ikhlas ketika membantu agar bermanfaat. Bukan mengharap karena materi, pujian ataupun kedudukan.
Karena jika kita ikhlas, tanpa diminta sekalipun, semua yang ada dibumi akan mendukung. Jika di dalam film dikatakan mestakung. Akronim dari semesta mendukung. Kalau kita bisa jadi seperti pensil, kenapa tidak ?
*Image by Afiv