Macet bukan hanya di Jakarta. Setiap sabtu pagi, saya selalu pergi ke kampus yang letaknya di Jl. Tol Ciawi No.1. Jarak kampus dengan kosan, mungkin hanya 2 KM saja. Artinya, jika ditempuh dengan angkot, waktu yang dibutuhkan tidak sampai 5 menit. Namun, jika hari sabtu, maka waktu yang dibutuhkan bisa 30-60 menit kalau naik angkot. Kenapa ?
Karena tidak sabar semua.
Karena egois semua.
Karena ingin duluan semua.
Karena saling salip semua.
Karena jalan diisi semua, sampai bahu jalan juga.
Karena banyak motor yang tidak membonceng.
Karena banyak mobil yang isinya hanya 1 orang.
Karena saat lampu lalu lintas sudah berwarna kuning masih tetap jalan.
Karena tidak ada yang mau sadar semua !
Macet adalah akibat. Seringkali saya melihat, macet disebabkan karena salah satu atau dua orang yang seenaknya sendiri di jalan. Seharusnya dia berhenti, tapi dia tetap jalan. Akhirnya, terjebak di tengah jalan. Semua jalan jadi tersendat. Lalu saling tidak sabar, dan akibatnya saling berhadapan tidak ada yang mau mengalah.
Melawan macet, bukan hanya soal aturan, tapi soal kesadaran. Di kota ini, sepertinya masih sedikit sekali orang yang sadar saat berlalu lintas. Banyak sekali pelanggaran lalu lintas yang dilakukan. Dari berkendara tanpa helm, jalan berlawanan arah (meskipun lewat pinggir), berbalik arah bukan ditempat seharusnya, parkir di jalan utama hingga akses jadi sempit, dan entahlah.
Banyak dari kita yang menuntut hak sebagai pengguna jalan, namun diri kita sendiri tidak menunaikan hak dalam menggunakan jalan.
Lalu, apa yang harus kita lawan ? Siapa yang harus kita lawan ? Coba kita tengok diri kita masing-masing.